TRADISI
SEJARAH DALAM MASYARAKAT INDONESIA
Salah
satu fungsi sejarah adalah untuk memberikan identitas kepada masyarakatnya.
Sebuah masyarakat dengan kebudayaan, nilai-nilai, norma-norma, tradisi dan
adat-istiadat yang sama, pasti memiliki jejak-jejak sejarahnya di masa lampau.
Dengan demikian, kisah sejarah dianggap perlu untuk menunjukkan jati dirinya
yang membedakan dengan masyarakat lainnya. Kisah sejarah juga dianggap perlu
sebagai pengalaman kolektif bersama di masa lampau, bahkan sering kali garis
keturunan yang sama sehingga dapat mempererat rasa solidaritas diantara anggota
masyarakatnya secara turun-temurun. Oleh karena itu, suatu kisah sejarah yang
dapat menjelaskan keberadaan suatu kolektif dianggap perlu, baik pada
masyarakat sebelum maupun sesudah mengenal tulisan.
MASA
PRA AKSARA
Pada
masyarakat yang belum mengenal tulisan, pewarisan ingatan tentang peristiwa
masa lampau dilakukan melalui tradisi lisan dari generasi ke generasi. Dengan
demikian, tradisi lisan berkembang dari waktu ke waktu. Setiap generasi
biasanya, selain mewarisi ingatan masa lampau dari generasi sebelumnya, juga
mewariskan pengetahuan tersebut kepada generasi berikutnya. Dengan demikian,
tradisi lisan dapat dianggap sebagai sebuah kesaksian sejarah yang sangat
berguna bagi penulisan sejarah.
Serimh
kali sebuah tradisi lisan mengisahkan pengalaman masa lampau ke belakang di
mulai sejak adanya manusia pertama. Bahkan sebelum adanya manusia sampai
terciptanya suatu kolektif yang dikenal sebagai masyarakat atau pun suku bangsa.
Seperti halnya dengan dokumen bagi masyarakat yang mengenal tulisan, tradisi
lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau. Selain itu, tradisi
lisan juga mengandung kejadian nilai-nilai moral, keagamaan, adat-istiadat,
serita-serita khayali, peribahasa, nyanyian, mantra dsb.
Karya-karya
dalam tradisi lisan biasanya dikenal sebagai bagian dari folklore. Pengungkapan
tradisi lisan sering kali dilakukan secara lugas dalam bentuk pepatah, tembang,
mitos, legenda, dongeng dan diwariskan sebagai milik bersama serta sebagai
symbol identitas bersama. Sebuah contoh, mitos dari masyarakat di Nias mengenai
terjadinya mado-mado (semacam marga
patrilineal) ceritanya sebagai berikut:
Menurut
mitologi Nias, alam serta seluruh isinya di ciptakan oleh Lowalangi. Langit
yang diciptakannya berlapis sembilan. Setelah selesai, ia menciptakan satu
pohon kehidupan yang disebut tora’a. Pohon itu kemudian berbuah dua. Setelah
dierami oleh seekor laba-laba yang merupakan jelmaan Lowalangi, menetaslah
sepasang dewa pertama di alam semesta ini, yaitu Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a
yang berjenis kelamin laki-laki dan Burutiraoangi Burutiraoana’a yang berjenis
kelamin perempuan. Sepasang dewa ini kemudian mendiami Sembilan lapis langit.
Salah
satu keturunan sepasang dewa pertama itu, bernama Sirao. Sirao kemudian menjadi
raja langit lapisan pertama yang terletak paling dekat dengan bumi. Langit
lapisan pertama itu disebut teteholi ana’a. Sirao mempunyai tiga orang istri
dan dari mereka masing-masing menuruunkan tiga orang anak laki-laki. Pada
saat Sirao berusia lanjut dan hendak
mengundurkan diri dari pemerintahan, timbul pertentangan diantara ke sembilan
putranya untuk memperebutkan singgasana. Untuk mencegah pertentangan itu, Sirao
mengadakan sayembara ketangkasan menari diatas sembilan mata tombak. Sayembara
itu teryata dimenangkan oleh putra bungsunya yang bernama Luo Mewona. Kebetulan
juga putra bungsunya ini adalah putra yang paling dikasihi dan dihormati oleh
rakyatnya. Hal itu disebabkan ia memiliki sifat yang rendah hati walauun ia
seorang yang gagah perkasa dan sangat bijaksana. Oleh karena itu, ia segera
dikukuhkan sebagai dipertuan di teteholi ana’a, menggantikan ayahnya. Untuk
menentramkan kedelapan putranya yang lain, Sirao mengabulkan permohonan mereka
untuk dinidadakan (diturunkan) ke tano niha atau tanah manusia, yang merupakan
nama asli dari Pulau Nias.
Dalam
pandangan sejarah modern tentunya cerita rakyat semacam itu tidaklah mengandung
nilai sejarah. Akan tetapi, bagi masyarakat tradisional hal itu dianggap
sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Cerita itu kemudian dijadikan
sebagian dari symbol bersama mereka dan sebagai alat legitimasi tentang
keberadaan mereka.
Penyebaran
dan pewarisan tradisi lisan memiliki banyak versi tentang satu cerita yang
sama. Hal ini menuujukkan dalam penyebaran dan pewarisan tradisi lisan telah
terjadi pembiasan dalam kisah aslinya, walaupun sering kali tokoh yang menjadi
figur dalam cerita itu adalah tokoh sejarah. Hal ini disebabkan ingatan manusia
yang terbatas dan adanya keinginan untuk memberikan variasi-variasi baru pada
cerita-cerita tersebut. Oleh karena itu, kisah sejarah yang disalurkan lewat
tradisi lisan itu akan terus mengalami perubahan. Perubahan yang diakibatkan oleh
imajinasi dan fantasi dari pencerita. Akibatnya, fajta sejarah itu semakin
kabur atau tenggelam sama sekali karena adanya penambahan atau pengurangan dari
masing-masing narasumber.
Contoh
lainnya, yaitu epos tentamg Hang Tuah, pahlawan Melayu yang merupakan tokoh
sejarah. Karena dijalin oleh berbagai tambahan dan penafsiran yang subjektif,
maka tokoh Hang Tuah mengalami proses metamorphosis menjadi tokoh dongeng. Hang
Tuah digambarkan tidak pernah mati. Ia selalu hidup terus dan sesekali muncul
menolong bangsa Melayu. Tradisi lisan Hang Tuah ini akhirnya dinaskahkan. Akan
tetapi, karena penulisannya tidak berazaskan ilmiah, kisah Hang Tuah menyimpang
dari fakta sejarah sesungguhnya dan menjadi dongeng atau cerita dalam rangka
kesusastraan lama. Di Jawa tokoh-tokoh penyebar Islam pada masa awal penyebaran
Islam yang dikenal sebagai para wali, kemudian juga dikenal sebagai tokoh
legenda yang memiliki kemampuan supranatural dan makamnya dianggap keramat.
Sehubungan
dengan hal itu, tradisi lisan tidaklah melukiskan kenyataan atau fakta yang
sesungguhnya. Walaupun tokoh-tokoh dan waktu terjadinya peristiwa itu memang
benar-benar ada, tetapi keseluruhan kisahnya banyak mengalami perubahan.
Hal-hal yang pada awalnya merupakan fakta atau kenyaatan, akhirnya menjadi
bentuk mitos dan legenda karena adanya penambahan-penambahan atau pengurangan
fakta sejarah. Dalam bentuk mitos dan legenda sulit sekali memisahkan antara
fakta dengan kepercayaan yang ditafsirkan oleh masyarakat yang belum mengenal
tulisan. Dalam pewarisan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi,
terdapat banyak keberpihakan dalam penafsiran dan penjelasan suatu peristiwa
masa lalu, walaupun demikian, tradisi lisan memiliki fungsi yang penting bagi
masyarakatnya. Tradisi lisan dalam bentuk mitos, legenda atau dongeng
melukiskan kondisi fakta mental (mentifact) dari masyarakat pendukungnya.
Tradisi lisan juga merupakan simbol identitas bersama masyrakatnya sehingga
tradisi lisan juga merupakan simbol solidaritas dari masyrakatnya. Tradisi
lisan juga menjadi alat legitimasi bagi keberadaan suatu kolektif, baik sebuah
marga, masyarakat, maupun suku bangsa.
Bahan-bahan
dari tradisi lisan sebagai fakta mental, juga dapat digunakan sebagai bahan
untuk mengetahui semangat juang seorang tokoh sejarah. Sebagai contoh ucapan
Pattimura ketika ia akan menjalani hukuman gantung. Ia tidak takut ancaman
maut, wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh.
Ucapan Pattimura ketika akan menjalani hukuman gantung
Nunu
oli
Nunu
seli
Nunu
karipatu
Patue
karinunu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar