Rabu, 25 April 2012

Tradisi sejarah


TRADISI SEJARAH DALAM MASYARAKAT INDONESIA
Salah satu fungsi sejarah adalah untuk memberikan identitas kepada masyarakatnya. Sebuah masyarakat dengan kebudayaan, nilai-nilai, norma-norma, tradisi dan adat-istiadat yang sama, pasti memiliki jejak-jejak sejarahnya di masa lampau. Dengan demikian, kisah sejarah dianggap perlu untuk menunjukkan jati dirinya yang membedakan dengan masyarakat lainnya. Kisah sejarah juga dianggap perlu sebagai pengalaman kolektif bersama di masa lampau, bahkan sering kali garis keturunan yang sama sehingga dapat mempererat rasa solidaritas diantara anggota masyarakatnya secara turun-temurun. Oleh karena itu, suatu kisah sejarah yang dapat menjelaskan keberadaan suatu kolektif dianggap perlu, baik pada masyarakat sebelum maupun sesudah mengenal tulisan.
MASA PRA AKSARA
Pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, pewarisan ingatan tentang peristiwa masa lampau dilakukan melalui tradisi lisan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, tradisi lisan berkembang dari waktu ke waktu. Setiap generasi biasanya, selain mewarisi ingatan masa lampau dari generasi sebelumnya, juga mewariskan pengetahuan tersebut kepada generasi berikutnya. Dengan demikian, tradisi lisan dapat dianggap sebagai sebuah kesaksian sejarah yang sangat berguna bagi penulisan sejarah.
Serimh kali sebuah tradisi lisan mengisahkan pengalaman masa lampau ke belakang di mulai sejak adanya manusia pertama. Bahkan sebelum adanya manusia sampai terciptanya suatu kolektif yang dikenal sebagai masyarakat atau pun suku bangsa. Seperti halnya dengan dokumen bagi masyarakat yang mengenal tulisan, tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau. Selain itu, tradisi lisan juga mengandung kejadian nilai-nilai moral, keagamaan, adat-istiadat, serita-serita khayali, peribahasa, nyanyian, mantra dsb.
Karya-karya dalam tradisi lisan biasanya dikenal sebagai bagian dari folklore. Pengungkapan tradisi lisan sering kali dilakukan secara lugas dalam bentuk pepatah, tembang, mitos, legenda, dongeng dan diwariskan sebagai milik bersama serta sebagai symbol identitas bersama. Sebuah contoh, mitos dari masyarakat di Nias mengenai terjadinya mado-mado (semacam marga patrilineal) ceritanya sebagai berikut: 
Menurut mitologi Nias, alam serta seluruh isinya di ciptakan oleh Lowalangi. Langit yang diciptakannya berlapis sembilan. Setelah selesai, ia menciptakan satu pohon kehidupan yang disebut tora’a. Pohon itu kemudian berbuah dua. Setelah dierami oleh seekor laba-laba yang merupakan jelmaan Lowalangi, menetaslah sepasang dewa pertama di alam semesta ini, yaitu Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a yang berjenis kelamin laki-laki dan Burutiraoangi Burutiraoana’a yang berjenis kelamin perempuan. Sepasang dewa ini kemudian mendiami Sembilan lapis langit.
Salah satu keturunan sepasang dewa pertama itu, bernama Sirao. Sirao kemudian menjadi raja langit lapisan pertama yang terletak paling dekat dengan bumi. Langit lapisan pertama itu disebut teteholi ana’a. Sirao mempunyai tiga orang istri dan dari mereka masing-masing menuruunkan tiga orang anak laki-laki. Pada saat  Sirao berusia lanjut dan hendak mengundurkan diri dari pemerintahan, timbul pertentangan diantara ke sembilan putranya untuk memperebutkan singgasana. Untuk mencegah pertentangan itu, Sirao mengadakan sayembara ketangkasan menari diatas sembilan mata tombak. Sayembara itu teryata dimenangkan oleh putra bungsunya yang bernama Luo Mewona. Kebetulan juga putra bungsunya ini adalah putra yang paling dikasihi dan dihormati oleh rakyatnya. Hal itu disebabkan ia memiliki sifat yang rendah hati walauun ia seorang yang gagah perkasa dan sangat bijaksana. Oleh karena itu, ia segera dikukuhkan sebagai dipertuan di teteholi ana’a, menggantikan ayahnya. Untuk menentramkan kedelapan putranya yang lain, Sirao mengabulkan permohonan mereka untuk dinidadakan (diturunkan) ke tano niha atau tanah manusia, yang merupakan nama asli dari Pulau Nias.

Dalam pandangan sejarah modern tentunya cerita rakyat semacam itu tidaklah mengandung nilai sejarah. Akan tetapi, bagi masyarakat tradisional hal itu dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Cerita itu kemudian dijadikan sebagian dari symbol bersama mereka dan sebagai alat legitimasi tentang keberadaan mereka.
Penyebaran dan pewarisan tradisi lisan memiliki banyak versi tentang satu cerita yang sama. Hal ini menuujukkan dalam penyebaran dan pewarisan tradisi lisan telah terjadi pembiasan dalam kisah aslinya, walaupun sering kali tokoh yang menjadi figur dalam cerita itu adalah tokoh sejarah. Hal ini disebabkan ingatan manusia yang terbatas dan adanya keinginan untuk memberikan variasi-variasi baru pada cerita-cerita tersebut. Oleh karena itu, kisah sejarah yang disalurkan lewat tradisi lisan itu akan terus mengalami perubahan. Perubahan yang diakibatkan oleh imajinasi dan fantasi dari pencerita. Akibatnya, fajta sejarah itu semakin kabur atau tenggelam sama sekali karena adanya penambahan atau pengurangan dari masing-masing narasumber.
Contoh lainnya, yaitu epos tentamg Hang Tuah, pahlawan Melayu yang merupakan tokoh sejarah. Karena dijalin oleh berbagai tambahan dan penafsiran yang subjektif, maka tokoh Hang Tuah mengalami proses metamorphosis menjadi tokoh dongeng. Hang Tuah digambarkan tidak pernah mati. Ia selalu hidup terus dan sesekali muncul menolong bangsa Melayu. Tradisi lisan Hang Tuah ini akhirnya dinaskahkan. Akan tetapi, karena penulisannya tidak berazaskan ilmiah, kisah Hang Tuah menyimpang dari fakta sejarah sesungguhnya dan menjadi dongeng atau cerita dalam rangka kesusastraan lama. Di Jawa tokoh-tokoh penyebar Islam pada masa awal penyebaran Islam yang dikenal sebagai para wali, kemudian juga dikenal sebagai tokoh legenda yang memiliki kemampuan supranatural dan makamnya dianggap keramat.
Sehubungan dengan hal itu, tradisi lisan tidaklah melukiskan kenyataan atau fakta yang sesungguhnya. Walaupun tokoh-tokoh dan waktu terjadinya peristiwa itu memang benar-benar ada, tetapi keseluruhan kisahnya banyak mengalami perubahan. Hal-hal yang pada awalnya merupakan fakta atau kenyaatan, akhirnya menjadi bentuk mitos dan legenda karena adanya penambahan-penambahan atau pengurangan fakta sejarah. Dalam bentuk mitos dan legenda sulit sekali memisahkan antara fakta dengan kepercayaan yang ditafsirkan oleh masyarakat yang belum mengenal tulisan. Dalam pewarisan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, terdapat banyak keberpihakan dalam penafsiran dan penjelasan suatu peristiwa masa lalu, walaupun demikian, tradisi lisan memiliki fungsi yang penting bagi masyarakatnya. Tradisi lisan dalam bentuk mitos, legenda atau dongeng melukiskan kondisi fakta mental (mentifact) dari masyarakat pendukungnya. Tradisi lisan juga merupakan simbol identitas bersama masyrakatnya sehingga tradisi lisan juga merupakan simbol solidaritas dari masyrakatnya. Tradisi lisan juga menjadi alat legitimasi bagi keberadaan suatu kolektif, baik sebuah marga, masyarakat, maupun suku bangsa.
Bahan-bahan dari tradisi lisan sebagai fakta mental, juga dapat digunakan sebagai bahan untuk mengetahui semangat juang seorang tokoh sejarah. Sebagai contoh ucapan Pattimura ketika ia akan menjalani hukuman gantung. Ia tidak takut ancaman maut, wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh.
Ucapan Pattimura ketika akan menjalani hukuman gantung
Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar